Cilellang, tempatku berpijak kini basah oleh guyuran hujan yang tak jua reda sejak semalam. Tebalnya awan yang melingkupi angkasa membuat matahari tak kuasa mengalahkan kegelapan langit.
Di tengah gemericik tetes hujan yang menghujam, ku hanya berdiam diri di sudut kamar bersama pikiran yang mengambang. Ya, ada sebuah pikiran yang selalu melayang bersama perasaan yang mengembara. Perasaan yang mungkin harus ku teriakkan pada dunia.
Dengan menarik nafas panjang, ku beranikan diriku menggoreskan sebuah kisah yang mungkin bagiku akan sangat memalukan saat dunia mengetahuinya. Tapi mungkin hanya dengan ini perasaanku bisa berhenti tuk melayang olehnya. Termasuk dia. Ya dia, dia yang selalu hadir dalam istirahat dalam istirahat malamku.
Jari-jariku mulai menari di atas tombol-tombol keyboard. Berdecak mengiringi lagu pikiranku tentang si dia. Ya, dia. Dia yang masih saja selalu hadir dalam istirahat malamku.
Kisah ini berawal saat ku bertemu dengannya. Tak ada yang berkesan dari dirinya. Layaknya seperti teman biasa. Bahkan boleh dikata ia termasuk teman yang tidak begitu akrab denganku. Namun setahun kemudian, tepatnya saat ku duduki bangku kelas dua SMA, rasa itu mulai menaburkan benihnya dipikiranku. Perlahan namun pasti rasa itu terus bertambah, meninggi, dan kini meledak dalam kehidupanku. Tak pernah kurasa seperti ini sebelumnya. Tapi bagiku ini wajar. Ini hanyalah sebuah tanjakan yang harus kudaki menuju sebuah puncak yang dinamakan dewasa.
Petang pun tiba. Langit masih juga mencurahkan hujannya yang lebat. Cilellang pun seakan tenggelam olehnya. Namun kisahku belum usai sampai disini.
Perlahan ku coba merasakan segarnya nafas alam yang bergulir bersama hujan yang menderas. Kembali kuhentakkan jemariku di atas tombol-tombol komputer yang sedari tadi menatapku. Pikiranku kembali melayang menjelajahi setiap tapak ingatanku tentangnya. Mencari setiap kengan yang telah terukir tentang si dia. Ya, dia. Dia yang selalu hadir meski saat ku terlelap.
Kisahku berlanjut pada suatu hari saat rasa itu benar-benar membantai dan menjajahku.
“jadi, lo masih memikirkannya ?”, teriak suara hatiku saat itu.
“memangnya salah ?”
“nggak, gw cuma ngingetin. Lo kan mau lupain dia ?”
“hah..lupa ? dia terlalu indah tuk dilupain “
Suara hatiku terdiam bersama diriku yang mulai sinting hanya karena si dia. Ya, dia. Dia yang selalu membuatku menarik nafas panjang saat ku mengingatnya.
Saat itu, tepat pukul 18.00, ku hentikan imajiku tentangnya. Sudah terlalu banyak waktuku yang terbuang hanya untuk memikirkannya. Kini kubercinta dengan sang pemilk cinta sejati Allah, yang nyawaku ada dalam genggaman-Nya. Ku jadikan shalat sebagai tempat persembunyian dari perasan yang terus menghantuiku saat itu. Harapku bisa mendapat ketenangan. Namun, itu hanyalah harapan kosong. Benteng religiku runtuh oleh hanya sebuah senyuman yang selalu terbang di alam sadarku.
“tidaakk..akankah semua hidupku terwarnai oleh sepasang mata indah yang terbingkai kerudung putih itu ?”
“sudah kukatakan kan,lo harus lupain dia “
“haruskah ?”
“ya.”
Kembali kuterdiam. Ku hentikan perdebatanku dengan suara hati yang tak jua jera memengaruhiku. Kembali kuteringat dengan wajah putih bersih nan bercahaya itu. Mungkin aku butuh waktu membiarkan bayangnya terbang berkeliling disegenap penjuru hati ini.
“sudah cukup. Ini membuang-buang waktu.”
“jadi ?”
“jadi apa?”
“hhaah..baiklah. Agar lo tenang hanya hanya ada dua pilihan . katakan atau lupakan.”
“diriku kembali ditimpa kebingungan. Entah harus ku apakn diri si dia itu. Mungkin terlalu sulit melupakannya. Namun haruskah aku takluk oleh hanya seorang perempuan yang mungkin tak pernah menaruh rasa padaku. Mungkinkah ? mungkinkah ?
Satu jam berlalu diatas meja belajarku saat itu. Integral yang sedari tadi ku coba tuk mengunyahnya tak sedikitpun ada yang yang tersimpan di memori otakku. Kepala ini seakan sesak oleh dia. Ya, dia. Dia yang masih saja terus menggangguku.
“tidak bisa. Aku tidak boleh begini terus “, pikirku dalam hati. Mito 2000 kuraih diatas tumpukan buku-buku sekolahku. Ku rebahkan tubuh kurusku di atas kasur lapuk yang cukup empuk bagiku.
Ku coba mengumpulkan segenap tenaga yang masih tersisa.
“jadi kamu akan melakukannya ?”, bisik suara hatiku.
Kembali kucoba menarik nafas panjang dari hidung.
“harus.”, teriakku dalam hati.
Setelah hati dan pikiranku yakin , kucoba untuk langsung menelponnya.
“bismillah..”ucapku mengawali.
“tuutt..tuutt..tutt…kreekk..”
”assalamualaikum…moe..?”, sapanya lembut.
“ww..w..waalikumsalam..ee..ee..emm..ss..se..sebenarnya.”, jawabku terbata.
Tiba-tiba.
“tut..tut..tut.”
Putus.
Panggilanku terputus. Gemetar di sekujur tubuh tak bisa kupungkiri. Debar jantung yang sejak awal menemani semakin menjadi. Sesak pun terasa di dada.
Kembali ku coba menghubunginya.
“bismillah..”, kembali ku mengawali .
“maaf..pulsa anda tidak mencukupi unutk melakukan panggilan ini. Segeralah lakukan pengisian ulang..tuutt..tuutt..tuutt..”
Hahaha. Kini kutertawai diriku. Ada kelucuan tersendiri malam itu di dalam sebuah kamar, di atas tempat tidur yang juga mungkin juga menertawaiku. Mungkin ini yang terbaik .
ia tak perlu tahu tentang rasa ini.
Di tengah hujan yang masih mengguyur dengan lebatnya, ku hentikan tarian jemariku bersama kisah yang sangat memalukan ini. Tapi satu yang pasti, perasaanku padanya. Pada si dia. Ya, dia. Dialah Aya, yang sampai sekarang bayangnya masih bersemayam di sebuah tempat terdalam dalam hati ini.
Cilellang pun kini tenggelam bersama hari yang kian menggelap.
0 Response to "Memalukan"
Post a Comment