Nikmatnya Liburan di Gontor | INFO INDONESIA

adsterra

TS

Nikmatnya Liburan di Gontor

Nikmatnya Liburan di Gontor
Oleh Gede H. Cahyana

Hampir setiap libur tahun baru, kurang lebih selama sepekan, saya berada di Gontor. Ini berlangsung hingga tahun 2018 lalu. Hanya tahun 2019 ini saja tidak ke Gontor. Silih berganti. Kadang-kadang di Ponorogo, di Gontor 1, kadang-kadang di Gontor Putri di Ngawi. Melelahkan memang, fisik dan psikis. Tubuh berada di dekat anak-anak, senang melihat mereka sehat, makan lahap, minum nyaman, tetapi kadang-kadang pikiran masih di Bandung atau di daerah lain untuk urusan pekerjaan sebagai konsultan lingkungan part-time. Selalu begitu.
Pernah kejadian, kira-kira sepekan menjelang lebaran, setelah mengunjungi anak yang kelas enam di pondoknya, lalu akan pulang ke Bali, ini malah harus berangkat ke luar kota. Tiket pesawat sudah dibelikan. Tanpa persiapan. Mendadak. Mau tak mau harus berangkat. Ada rapat mendadak. Dinego supaya bisa izin tidak hadir, tidak boleh. Team leader harus hadir. Waduh… akhirnya anak-anak dan istri diinapkan di hotel Srikandi Bandara Yogyakarta. Dua malam mereka di sana, barulah saya kembali ke Yogya. Lalu lanjut ke Bali.

Selain libur tahun baru, hari lain juga menengok anak. Berkala. Selang-seling dengan istri. Juga sering berdua. Tidak ingat lagi, mana yang lebih banyak. Sendiri-sendiri  ataukah berdua. Sebulan atau dua bulan sekali. Lebih sering naik kereta api. Kadang Pasundan, kadang Kahuripan, kadang Lodaya. Kadang naik bis. Kadang nyetir sendiri. Kalau nyetir sendiri selalu bersama istri. Takut tersesat atau khawatir terjadi sesuatu di perjalanan. Misal mogok atau ban kempes. Pernah pas nengok anak yang di Ponorogo, ada pemutaran film Negeri 5 Menara. Saya mau cerita tentang film ini. Liburan akhir tahun cocoknya nonton film ini lagi. Sekalian nostalgia he he he. .. ..

Film Negeri 5 Menara
Film Negeri 5 Menara ini diproduksi oleh Kompas Gramedia bekerjasama dengan Million Picturesyang diangkat dari novel karya Ahmad Fuadi berjudul sama. Skenario ditulis oleh Salman Aristo yang biasa menulis naskah film-film laris Indonesia dan disutradarai oleh Affandi Abdul Rachman. Film ini dibuat di 4 lokasi syuting, yaitu di Sumatera Barat, Pondok Pesantren Madani Gontor Ponorogo Jawa Timur, Bandung, dan London (Inggris).

Negeri 5 Menara mengangkat nilai-nilai persahabatan dan kebersamaan anak-anak remaja santri di sebuah pondok pesantren Islam dengan latar belakang adat dan suku yang berbeda. Mereka bersama-sama berjanji dan bersungguh-sungguh untuk meraih mimpi dengan filosofi Man Jadda Wa Jada (Siapa yang bersungguh-sungguh akan menuai hasilnya).

Kisah bermula dari seorang Alif (Gazza Zubizareta) yang baru saja lulus dari SMP di Maninjau yang harus berpisah dengan sahabatnya Randai (Sakurta Ginting) dan mengubur mimpinya melanjutkan studi ke Bandung serta cita-citanya untuk meneruskan kuliah di ITB agar seperti idolanya BJ. Habibie. Dia merelakan semuanya untuk menuruti amanat Amaknya (Lulu Tobing) dan Ayahnya (David Chalik) yang ingin agar Alif masuk pesantren di pulau Jawa dan berharap Alif bisa berguna bagi khalayak, seperti Buya Hamka dan Bung Hatta.

Singkat cerita, Alif pun merantau ke pulau Jawa dan diterima menjadi salah satu santri di Pondok Pesantren Madani. Di pesantren, pada mulanya Alif lebih sering menyendiri karena harus menguatkan hati merelakan keinginannya demi bisa membahagiakan orang tuanya. Tapi di kemudian hari, Alif mulai bersahabat dengan teman-teman satu kamarnya, yaitu Baso (Billy Sandy) dari Gowa, Atang (Rizky Ramdani) dari Bandung, Said (Ernest Samudera) dari Surabaya, Raja (Jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmajid (Aris Putra) dari Madura. Mereka berenam selalu berkumpul untuk berbincang membicarakan mimpi-mimpi mereka di menara masjid dan menyebut diri mereka sebagai Sahibul Menara.

Seperti naturalnya film yang diadaptasi dari novel tebal, ada kesulitan tersendiri mengingat ekspektasi pembaca novel yang selalu mengharapkan film harus lebih bagus dari novelnya. Kebanyakan pembacapun memiliki film tersendiri dan alur cerita di kepalanya masing-masing. Kesulitan ini terasa di film yang memang agak berjalan lambat di awal. Turning point film ini terjadi saat Alif dan kawan-kawan disentak oleh pedang dan kesan mendidik yang tak biasa dari Ustad Salman (Donny Alamsyah). “Ingat! Bukan yang paling tajam, tapi yang paling bersungguh-sungguh. Man Jadda Wajada!” Begitu katanya berulang-ulang hingga bergema dan diikuti seisi ruang setelah berhasil memotong kayu dengan sebilah pedang karatan.

Di bawah menara Madani, mereka berjanji dan bertekad untuk bisa menaklukkan dunia dan mencapai cita-cita menjadi orang besar, yaitu orang yang besar jiwanya untuk membuka dunia di pelosok-pelosok negeri dengan tanpa pamrih. Film ini sarat dengan pesan moral, inspirasi, tekad, dan bumbu konflik menarik yang membuat penonton terpingkal oleh ulah para Sahibul Menara. Juga pengetahuan bahwa pendidikan Islam khususnya pesantren tidak melulu terkungkung dari peradaban dan budaya lain. Di pesantren juga ada teknologi, seni, jurnalisme, bahasa Inggris, dan musik, bukan cuma pelajaran agama.

Ada sebuah petikan pelajaran dalam film ini bahwa harapan dan mimpi-mimpi yang besar mampu menciptakan orang-orang hebat. Hebat dalam menghidupkan mimpi dan mewujudkan harapan menjadi kenyataan. Man Jadda Wajada! *

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nikmatnya Liburan di Gontor"

Post a Comment

btc