Kembali lagi disesi berbagi pengalaman. Kali ini saya kan melanjutkan bagian ketiga untuk Pengalaman Penuh Hikmah Masa SMA. Jadi buat kalian yang belum baca bagian sebelumnya, saya harap dibaca dari bagian pertama ya...
Oke, saya mulai dari dimana saya sudah pensiun dari organisasi sekolah. Otomatis fokus saya sekarang bukan lagi organisasi, melainkan mencari ilmu. Mau tidak mau saya harus memenuhi nilai - nilai yang masih kurang demi persyaratan untuk masuk universitas. Meskipun begitu, saya masih tetap menerima omelan dari beberapa guru yang saya sebutkan sebelumnya (guru bidang studi yang tidak saya pahami pelajarannya) karena kurang pahamnya saya terhadap pelajarannya. Ya saya tidak bisa mengelak. Bukannya saya lebih termotivasi, justru saya semakin banyak merenung dan diam. Begitu banyak sekali yang saya pikirkan saat itu demi kenyamanan saya dikehidupan selanjutnya.
Saya hanya takut salah pilih dan mengorbankan kenyamanan saya. Karena, pada dasarnya saya bukan tipe orang yang mampu bertahan lama apabila tidak merasa nyaman. Bagaimana pun caranya saya harus pergi dari tempat yang membuat saya tidak nyaman. Begitulah saya. Banyak peraturan, banyak prinsip, tapi tidak menghasilkan apapun. Selepas itu, saya lebih banyak menyendiri dijam kosong kelas. Entah itu saya bermain ponsel ataupun mencari informasi jurusan yang pas untuk saya.
Singkat cerita saat itu saya sedang pelajaran Bahasa Indonesia. Kami diberikan tugas untuk membuat teks eksplanasi. Entah mengapa saat itu saya sangat antusias menerima tugas tersebut. Bahkan diotak saya sudah terpikir seperti apa tulisan yang harus saya susun. Saya juga berusaha menunjukkan apa yang saya bisa didepan teman - teman. Memang saya lemah dalam pelajaran hitung - menghitung, tapi hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa saya bisa bidang lain bukan ? Termasuk kalian. Dan pada akhirnya, saya menyelesaikan tugas itu pertama kali dan mendapat nilai yang lumayan. Reaksi beberapa teman kelas pun merasa sedikit takjub melihat saya mampu menyelesaikan tugas tersebut dengan tulisan mencapai 1 lembar lebih kertas folio bergaris (TIDAK ADA NIAT SOMBONG).
Tak hanya itu, saya menilai diri saya sendiri mampu untuk menerima materi teori. Bahkan terkadang saya bisa dipanggil dadakan untuk menjelaskan materi tertentu sebagai bentuk menambah nilai. Sekali lagi bukan niat untuk sombong. Kemudian, saya pun merasa menemukan sesuatu yang tepat pada diri saya.
Dari itulah saya sadar. Bahwa saya bukan anak IPA banget. Bisa dibilang saya hanya numpang di IPA. Saya pun mulai mencari informasi tentang jurusan sastra Indonesia dan sastra Inggris. Teman sekelas saya tidak ada saat itu yang memilih jurusan seperti yang saya inginkan. Justru mereka heran mengapa saya mengambil jurusan tersebut sedangkan saya dari IPA. Mereka tentunya juga menanyakan mengapa tidak mengambil jurusan bahasa saja dari awal masuk. Ya saya hanya bisa bilang desakan orang tua.
Sampai situ saya benar - benar yakin dengan pilihan saya. Saya benar - benar merasa passion saya disitu dan kelak bisa menjadi lulusan yang baik serta berguna. Namun, tugas saya belum selesai. Saya masih harus mengabari orang tua untuk mempercayai pilihan saya. Saat itu bukan waktu yang bagus, tapi tidak ada waktu lagi karena ujian nasional semakin dekat.
Ya sebenarnya saat itu hati orang tua sudah sedikit agak lunak, karena saya berulang kali berkeluh kesah akan nilai dan peringkat saya disekolah. Saat itu juga ada masalah yang membuat orang tua saya lebih peduli akan keinginan anak - anaknya. Akhirnya, walau dengan berat hati, orang tua mengizinkan saya untuk mengambil jurusan sastra. Tapi ya gitu, mereka lebih senang jika saya mengambil sastra Inggris saja dibanding sastra Indonesia. Karena bagi mereka lulusannya tidak jelas bekerjanya akan seperti apa.
Hasrat hati ingin menjabarkan secara luas bahwa lulusan sastra Indonesia tidak seburuk itu. Tapi, saya tidak ingin berdebat kalau ujung - ujungnya bertengkar lagi. Jadi saya biarkan mereka komen apapun pokoknya saya sudah bebas memilih jurusan yang saya inginkan.
Singkat cerita, saya menjadi bangga terhadap diri saya sendiri. Setiap teman - teman tanya, saya selalu jawab dengan tegas walau reaksi mereka setelahnya kebingungan. Oh ya, pernah waktu itu guru matematika peminatan saya mengeluh mengapa saya tidak paham pelajarannya saat itu. Dia pun bertanya apa jurusan yang akan saya pilih kelak dengan suaranya yang lantang hingga satu kelas diam. Saya tidak malu. Justru saya menjawab dengan tegas "Sastra Indonesia, Bu." tentu saja setelah mendengar jawaban saya, dia mulai heran dan kebingungan. Lagi - lagi pertanyaan umum muncul, "La kenapa kamu masuk IPA ? Kok nggak masuk Bahasa saja dari awal."
Awalnya saya diam sejenak untuk memikirkan jawaban yang lugas selain desakan orang tua. Tapi karena suasana kelas juga hening, saya pun mulai menjawab, "Kalau sekarang bisa pindah Bahasa saya pindah Bu." tak berhenti sampai disitu, dia pun mulai penasaran dengan saya. Dia menanyakan lagi hal yang sama pada saya karena mungkin itu masih tidak masuk akal baginya. Namun, karena tidak enak hati, say amenjawabnya sangat pelan sehingga teman sekelas tidak mendengarnya, "Saya dulu sudah bilang pada Bu BK untuk memasukkan saya terserah, tapi saya lebih ke Bahasa. Eh waktu pengumuman saya masuk kelas IPA 2 yang katanya unggulan." mendengar jawaban itu, guru saya yang gantian terdiam. Dia pun menyuruh saya duduk kembali.
Saya tau mungkin jawaban saya terlalu percaya diri. Tapi memang adanya seperti itu dan tidak dibuat - buat. Tapi karena rasa percaya diri yang tinggi, saya mulai sedikit meremehkan saingan - saingan yang tidak saya tau. Saya merasa enteng dalam memilih jurusan tersebut hingga tidak mencari nilai muluk - muluk seperti yang dilakukan anak - anak lain. Bahkan saya hanya berpikir, jika dirasa nilai saya cukup maka tidak perlu mencari nilai tambahan. Saya juga tidak mengkhawatirkan apapun sejak saat itu. Karena, saya merasa persiapan saya maupun nilai saya sudah cukup bagi saya sendiri. Saya juga tidak pernah berkonsultasi, tidak pernah diskusi, dan tidak pernah membicarakan detil tujuan hidup saya dengan jurusan yang saya pilih tersebut kepada orang lain.
Hari ini sampai disini saja dulu ya, sudah hampir 13 jam duduk didepan laptop nonstop. Laptop saya pun panas dan lelah, karena sedari tadi hidup. Kisah pengalaman ini belum selesai sampai disini. Masih ada bagian lain yang akan segera saya publish diblog ini. Jadi tunggu ya...
Salam.
Baca Juga : "Semua Terlambat" Pengalaman Penuh Hikmah Masa SMA (4)
0 Response to ""Menjadi Yakin dan Percaya Diri" Pengalaman Penuh Hikmah Masa SMA (3)"
Post a Comment