Apa kabar ? Semoga sehat dan makmur ya.
Hari ini saya akan berbagi pengalaman bagaimana rasanya tidak diterima di SMA yang diinginkan.
Nah buat kalian yang bukan anak - anak yang akan melanjutkan ke jenjang SMA, diperbolehkan membaca artikel ini sebagai bentuk nostalgia kalian dahulu. Mungkin bisa juga memberikan komentar dibawah sesuai apa yang kalian rasakan ketika SMA yang kalian inginkan tidak berpihak pada kalian.
Cerita ini dimulai pada tahun 2015 dimana saya dan teman - teman lagi gencar untuk mendaftarkan diri ke sekolah negeri pilihan melalui website resmi dinas pendidikan kota saya. Dengan percaya diri dan sesuai rekomendasi para guru, saya pun mendaftar ke 3 sekolah terbaik dikota saya saat itu. Setelah berhasil mendaftar dengan teman, saya pun melakukan proses lain yaitu memberikan berkas verifikasi ke sekolah tujuan pertama. Kebetulan sekolah tujuan pertama saya adalah sekolah dengan peminat paling tinggi dan termasuk rating terbaik dikota saya. Anggapannya, jika kamu masuk sekolah itu, maka cap "anak pintar" akan langsung melekat dimata masyarakat.
Saya berasal dari SMP swasta. Namun, jangan mudah mengambil kesimpulan bahwa anak yang bersekolah disekolah swasta adalah anak buangan dari sekolah negeri yang menolak mereka. ITU SALAH !!! Buktinya, tidak semua teman - teman saya memiliki nasib tertolak SMP negeri. Tapi ada juga yang seperti saya yaitu langsung mendaftar tanpa daftar kemana - mana lagi. Ada juga yang menyamakan saat SD nya dulu karena SMP saya memiliki suatu yayasan dimana ada TK - SMP dengan nama yang sama. Ada juga yang pindahan dari kota lain dan mencari sekolah swasta dengan pendidikan agama tinggi.
Lalu mengapa saya sangat percaya diri mendaftar SMA terbaik ? Ya sekarang mana ada sih anak seumuran 15 tahun / 16 tahun tidak mau masuk sekolah negeri yang dia inginkan ? Pasti ada banyak. Begitu juga saya. Apalagi dulu sifat saya sangat congkak dan arogan serta terlalu berbangga pada diri sendiri akibat nilai serta peringkat yang tinggi, ya walau saya hanya nomor dua. Saya juga mendapat pujian teman - teman dan para guru berkat pencapaian saya di sekolah waktu itu. Itulah hal baik yang berujung buruk pada watak saya, yaitu menyebabkan hasrat hati ingin pamer dan tidak ingin direndahkan dengan mudah.
Terlebih lagi nilai nun saya cukup tinggi. Sehingga hal itu membuat saya sangat yakin dapat masuk ke sekolah terbaik itu. Saya juga tidak mau kalah dong dengan saingan saya yang lain, jadi apapun saya kerahkan demi masuk ke SMA terbaik tujuan saya.
Singkat cerita, beberapa hari setelahnya, saya harus datang ke SMA tujuan pertama saya untuk melakukan proses penyerahan data ? Atau apa ya saya lupa he he he. Secara jelas saya harus berdesakan dengan banyak anak yang totalnya lebih dari 500 orang. Kami juga harus menunggu disalah satu ruang kelas yang sesak dan sedikit pengap. Saat itu saya benar - benar bertekad untuk bisa masuk kesana, karena saya merasa telah berkorban dan mengusahakan yang terbaik. Dari siang saya disana hingga sore hampir maghrib saya baru pulang. Memang benar - benar butuh perjuangan.
Selepas itu, kami tinggal menunggu waktu tes. Memang saat itu bukan nilai nun yang berkuasa dalam hasil, melainkan hasil tes yang hampir memenuhi persentase diterima atau tidaknya kita. Tak hanya itu, prestasi yang didapatkan juga berpengaruh dan itu harus taraf yang tinggi. Saya juga punya beberapa sertifikat dari lomba olimpiade Bahasa Inggris yang saya ikuti pada kelas 7 dan 9. Namun, mengingat saya tidak pernah menang dalam lomba yang diikutkan, mengharuskan saya hanya punya sertifikat dengan tulisan "Peserta" dan "Finalis". Jadi saya tidak menyertakan sertifikat saya didata pendaftaran.
Tak lama berselang, hari tes pun tiba. Saya benar - benar mempersiapkan waktu tes dengan belajar mati - matian tanpa guru les ataupun binaan bimbingan belajar terkenal. Saya pun melaksanakan tes diruang laboraturium karena membludaknya pendaftar sekolah tujuan pertama saya hingga pihak sekolah meminjam gedung SMP didepannya.
Waktu berlalu, yang saya lakukan selama liburan setelah wisuda sembari menunggu pengumuman adalah sholat lima waktu, berpuasa sunnah, dan sholat tahajud tiap malam dengan rajin tanpa bolong. Disetiap doa pun saya selalu menyelipkan nama SMA terbaik tujuan pertama saya. Karena itu juga patut dilakukan ketika kita sudah berusaha.
Setiap teman menanyakan rencana saya perihal SMA yang akan menjadi tujuan saya. Saya mengatakan tidak akan memilih sekolah swasta sebagai cadangan karena saya benar - benar ingin masuk SMA terbaik itu. Saya juga mengatakan bahwa tidak ingin diterima disekolah negeri tujuan ketiga saya karena tidak taunya lokasi maupun informasi tentang sekolah itu. Walau sekolah tujuan ketiga saya dikenal oleh banya teman - teman, saya tetap tidak tau dimana lokasi sekolahnya dan informasi detil, atau bahkan bentuk bangunan sekolah itu pun tidak tau.
Hari demi hari berlalu, dan waktu pengumuman penerimaan sudah dekat. Hati saya pun berdegup kencang ketika mengingat hal tersebut. Saya pun semakin memohon pada Tuhan untuk tidak memasukkan saya ke tujuan ketiga melainkan tujuan pertama.
Tibalah hari pengumuman. Dimana kedua orang tua saya ada dirumah dan saya baru bangun tidur sekitar jam setengah 9, karena selepas sholat subuh tidur lagi he he he. Kemudian, dengan jantung yang berdegup kencang dan bibir yang selalu mengucap nama Tuhan, saya pun membuka website pengumuman dengan penuh harapan nama saya tertulis di SMA tujuan pertama saya.
Setelah saya buka lamannya dan memasukkan nomor pendaftaran, saya pun membaca terdapat tulisan bahwa saya berada diurutan nomor 80. Saya pun langsung melek dan bangkit dengan terkejut. Namun, ketika saya lihat dibawahnya yaitu nama sekolahnya, justru tertulis nama sekolah tujuan ketiga saya. Dimana sekolah yang tidak pernah saya harapkan, justru kelak akan menjadi pijakan saya sehari - sehari. Saya pun menangis menghampiri Mama saya yang sedang mencuci piring. Saya langsung menunjukkan layar ponsel pada Mama saya. Kemudian, Mama saya berlari ke Papa saya yang sedang menonton televisi dan menjelaskan dimana saya diterima. Saat itu Papa saya langsung bersyukur lega dan menyuruh saya bersiap - siap untuk segera daftar ulang.
Tak langsung bersiap - siap, saya justru masih mantengin layar ponsel saya untuk melihat daftar nama siapa saja yang diterima di SMA tujuan saya. Ternyata setelah saya cek ada satu teman saya yang memang sudah sepantasnya diterima disana karena peringkatnya selalu diatas saya yaitu nomor satu, terdapat beberapa nama teman - teman saya yang bahkan nilainya berada dibawah saya jauh. Hal itulah yang membuat saya semakin tidak terima dan kesal terhadap dunia yang tidak adil pada saya (ecilah hiperbola amat yak wkwkwk). Akhirnya saya nangis sejadi - jadinya hingga mata sembab dan wajah bengkak.
Setelah usai bersiap - siap, saya dan Papa siap untuk berangkat. Dilingkungan rumah pun para tetangga pada keluar untuk saling mengetahui hasil pengumuman hari itu. Dengan mata yang masih berkaca - kaca saya dihadapi beberapa tanggapan tetangga yang juga tidak menyangka bahwa saya tidak diterima di SMA terbaik itu. Saya semakin nangis dong wkwkwk. Namun, ada satu tetangga saya yang bilang pada saya bahwa saya beruntung dapat diterima disalah satu sekolah negeri primadona masyarakat kota saya. Tangisan saya pun reda.
Lalu, saya pun sampai di SMA yang menerima saya itu. Saya melihat adan seorang anak menangis dan beberapa wanita yang gelisah karena anaknya tidak diterima oleh SMA tujuan ketiga itu. Saya menatap mereka cukup lama dan tergambar jelas betapa gelisah dan sedihnya mereka karena tidak mendapatkan satupun SMA negeri yang mereka tuju. Saya pun mulai sadar harusnya bisa bersyukur karena masih bisa bersekolah negeri seperti yang anak - anak lain harapkan walau tidak disekolah negeri terbaik sekalipun.
Papa saya juga mengatakan bahwa didalam doanya, tidak penting dimana saya akan diterima. Yang penting saya bisa diterima disekolah negeri, jadi tidak harus mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk mendaftar sekolah swasta. Dia juga bilang bahwa saya harus bersyukur, karena masih banyak anak yang tidak seberuntung saya. Mau dimanapun negerinya, tetap saja soal nilai dan kualitas itu saya yang menentukan. Saya pun tertegun sejenak. Jujur saya terharu. Benar memang apa yang dikatakan Papa saya.
Tidak perlu sekolah terbaik untuk menjadi yang terbaik. Dan sekolah yang menolakmu bukanlah tempatmu. Bisa saja jika saya bersekolah di SMA terbaik itu akan membuat saya minder dan malu mengekspresikan diri dibanding disekolah yang menerima saya. Semua tergantung bagaimana kita menjalankan kehidupan sebagai murid disana. Dan juga, semua adalah kehendak Tuhan. Karena, skenario Tuhan adalah skenario hidup terbaik yang tidak pernah bisa kamu pungkiri. Jadi, bersyukurlah dan selalu mengusahakan yang terbaik.
Sekian dari saya hari ini. Terima kasih sudah mau membaca. Bagaimana ? Apakah pengalaman kalian ada yang sama ? Atau kalian memiliki pengalaman lain ? Bisa komen dibawah ya atau kirimkan surel sesuai alamat email saya.
Salam.
0 Response to "Pengalaman Tidak Masuk ke SMA yang Diinginkan"
Post a Comment